Minggu, 01 Februari 2009

“Ngalor-ngidul” Statistik Peternakan

Alih-alih dapat mencapai target pemerintah berswasembada daging tahun 2010, 70% dari total kebutuhan daging nasional saat ini dipenuhi dari import. Bukan sebaliknya seperti yang sering dikatakan bahwa 20%-30% kebutuhan daging nasional dipenuhi dari import. Kesimpulan saya ini berdasarkan hasil perhitungan angka-angka yang diterbitkan di buku statistik peternakan terbitan Direktorat Jenderal Peternakan tahun 2007.
Tidak percaya? Silakan hitung sendiri dengan data berikut ini. Konsumsi daging sapi 0.31 kg/kapita/ tahun (halaman 139); jumlah penduduk Indonesia 221 juta (halaman 211); impor sapi bakalan dan daging sapi yang rata-rata naik hampir 20% per tahun (halaman 31). Data teknis yang saya gunakan adalah berat badan sapi import 400-500 kg; berat badan sapi lokal 300-350 kg; karkas 45-50%; kandungan daging dalam karkas 65%. Mudah-mudahan perhitungan saya tidak salah bahwa hasilnya sekitar 70% daging di Indonesia berasal dari import.
Namun kalau melihat data jumlah pemotongan sapi di Indonesia yang rata-rata 1.768.571 ekor per tahun (halaman 115), pernyataan selama ini bahwa daging impor hanya menutupi 20% - 30% kebutuhan daging nasional ada benarnya karena rata-rata impor sapi dari luar negeri (sapi bakalan dan daging beku) sebanyak 337.856 ekor per tahun (halaman 31).
Jadi, dengan menggunakan data sapi yang disajikan pada buku statistik peternakan yang sama, hasilnya berbalikan. Hasil yang satu menunjukkan bahwa 70% kebutuhan daging dipenuhi dari import sedangkan hasil satunya lagi menunjukkan bahwa 70% kebutuhan daging dipenuhi dari sapi lokal. Jika dua-duanya tidak bisa diterima, maka jawaban lainnya adalah bahwa konsumsi daging sapi di Indonesia tidak lagi 0.31 kg/kapita/tahun, tetapi lebih dari itu!!. Inilah potret data statistik peternakan. Angka manakah yang benar diantara angka-angka yang disajikan pada buku yang sama?
Tidak heran apabila banyak pihak sering mengeluhkan kesahihan data keluaran pemerintah. Konon data pemerintah lebih sering kelirunya daripada benarnya. “Ambil saja separonya bila menggunakan data pemerintah” seloroh seorang teman akademisi dari kampus ternama di Indonesia. Tidak hanya data pemerintah saja sebenarnya. Data instansi swastapun sering tidak akurat karena terkait dengan hitung-hitungan bisnis dan kewajiban membayar pajak. Kata teman yang lain lagi, data yang disajikan pihak swasta bisa berubah-ubah, dan angka yang dimunculkan sangat tergantung pada kegunaan data tersebut. Tampaknya ini sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, walaupun sebaiknya jangan dibudayakan.
Memang bukan pekerjaan mudah untuk menghasilkan data yang baik dan benar. Walaupun dari waktu ke waktu, kualitas buku statistik peternakan (tampilan maupun substansinya) terus diperbaiki namun masih saja hasilnya seperti yang saya uraikan di atas sebagai salah satu contohnya. Namun demikian, bukan berarti kita tidak bisa membuat data statistik yang baik dan benar di masa mendatang. Khususnya data dari pemerintah --sebagai lembaga publik--, mestinya harus akurat dan tepat mengingat keberadaan data yang baik dan benar merupakan bahan pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan penting, apalagi yang menyangkut kemaslahatan umat.
Upaya menghasilkan data statistik yang baik dan benar sangat mungkin dan bisa dilakukan. Banyak pakar statistik di Indonesia, teknologi informasi juga semakin canggih, fasilitas untuk menjalankan teknologi tersebut juga sangat memadai, dan semua perangkat lainnya juga siap mendukungnya. Kita tinggal membutuhkan kemauan dan semangat melayani publik untuk menghasilkan data yang terbaik, tentunya dengan memberikan dukungan finansial dan reward yang memadai bagi para profesional yang mengerjakannya.
Contoh menarik tentang akurasi data di Indonesia adalah data yang terkait dengan pemilihan umum untuk memilih pemimpin ekskutif di tingkat pusat dan di tingkat daerah maupun untuk memilih anggota lembaga legislatif di Indonesia sejak di era reformasi selama ini. Hasil perhitungan cepat (quick count) yang dilakukan oleh lembaga survei seringkali tidak meleset dengan hasil perhitungan manual yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Memang menghitung jumlah kertas suara (yang merupakan benda mati) sangat berbeda dengan jumlah ternak (barang hidup dan berkembang) apalagi ternak kecil seperti ayam dan sebangsanya. Namun, sekali lagi, bukan berarti tidak bisa.
Selamat menunaikan tugas baru dengan semangat baru di tahun 2009.

Muladno.
Guru Besar pada Fakultas Peternakan IPB dan Ketua I PBISPI 2006-2010

Dipublikasi juga di Majalah TROBOS edisi Januari 2009

3 komentar:

  1. Terima kasih pak Informasinya. sangat menarik dan 'menggemaskan' ttg kondisi negeri ini..

    BalasHapus
  2. jadi selama ini???
    wahh, data penelitian juga tidak akurat jadinya

    BalasHapus
  3. Kabar untuk pencinta Game android
    Bulan ini adalah Bulan special Terliris Game baru Action Mobile
    untuk download dan mendapatkan Aplikasinya silahkan klik link ini

    Http://bit.do/game-tebaru

    BalasHapus