Selasa, 30 Desember 2008

Seratus Edisi Majalah Trobos


Dunia dalam genggaman! Ini bukan kiasan tetapi realita yang sudah jamak ditemui saat ini. Mau apa saja dapat dilakukan tanpa harus mengayunkan kaki tetapi cukup dengan menggerakkan jari-jemari tangan pada telepon genggam (telgam) kita. Mau membayar tagihan listrik atau telepon atau kartu kredit; membeli barang atau jasa, cukup dengan menekan tombol tombol pada telgam tersebut, semua urusan beres. Melalui telgam, kita juga dapat menjelajah internet atau mengirim faks ke berbagai tujuan dan melakukan aktifitas lainnya. Tentu saja, kita bisa juga mengambil berbagai informasi terkini tentang berbagai macam berita dari manapun asalnya melalui penulurusan internet di telgam. Kemajuan teknologi informasi telah mengubah gaya hidup manusia saat ini.
Namun demikian, manusia yang telah dimanjakan oleh teknologi tersebut masih haus informasi atau tulisan lainnya dari media cetak. Terbukti di era teknologi informasi seperti diilustrasikan di atas, semakin banyak media cetak diterbitkan dalam bentuk majalah, surat kabar, buletin, tabloid, dan lain lain. Padahal manusia yang mengonsumsi berbagai media cetak itu kebanyakan juga mereka yang memiliki telgam dengan berbagai kemudahan tersebut di atas. Artinya, manusia masih memerlukan atau menikmati karya jurnalistik yang mengintegrasikan unsur keindahan gambar/foto, ketepatan informasi, kesopanan tutur bahasa dalam suatu cetakan yang indah dan dalam kemasan yang nyaman untuk dibaca, dipajang, atau disimpan (didokumentasikan).
Salah satu bentuk media cetak adalah majalah yang biasanya diterbitkan secara mingguan, dua-mingguan, atau bulanan. Karena tidak diterbitkan setiap hari, pola pemberitaan di majalah sangat berbeda dengan pembertitaan di surat kabar harian. Kesegeraan memberitakan suatu informasi tidak terlalu penting tetapi menyajikan hasil analisis berbagai informasi penting untuk dijadikan tulisan komprehensif tentang isu terkini merupakan kekuatan suatu majalah. Berbagai narasumber dimintai pendapatnya terhadap isu terkini tersebut yang diharapkan menghasilkan pendapat atau opini beragam. Jadilah tulisan itu merupakan sajian menarik yang esensinya juga meningkatkan wawasan atau bahkan mencerdaskan pembaca.
Membuat tulisan komprehensif yang didalamnya mengupas benturan dua pendapat yang berbeda atau merangkum keserasian dua pendapat yang selaras bukan suatu pekerjaan mudah. Perlu kesabaran dalam memperoleh informasi akurat dari narasumber yang tepat; perlu memahami etika dalam penulisan; perlu kehati-hatian dalam menyitir atau menyadur atau menerjemahkan pendapat narasumber terhadap suatu isu; serta perlu kepandaian dalam menata alur cerita yang logis dan kronologis sehingga produk tulisan akhirnya mampu menstimulir otak pembaca untuk ikut menganalisa atau masuk dalam pergulatan pemikiran di permasalahan yang diangkat dalam majalah tersebut. Jelas hal ini merupakan jenis pekerjaan intelektual berkualitas yang harus ditopang pula dengan idealisme.
Jurnalis dalam menyampaikan informasi ke khalayak boleh saja salah karena kekhilafan atau salah karena hal lain tak disengaja; tetapi jurnalis tidak boleh berbohong secara sengaja. Sangat terlihat juga dalam berbagai tulisan di majalah bahwa jurnalis sebagai seorang professional dapat menyajikan tulisan secara objektif dan berimbang, serta sangat piawai mendapatkan informasi melalui berbagai pertanyaan yang jeli dan penuh curious (keingintahuan).
Tidak cukup hanya tulisan menarik dan tajam analisisnya saja yang dibutuhkan dalam menerbitkan suatu majalah. Sampul majalah dengan foto atraktif yang sesuai dengan tema atau topik utama penyajian berita merupakan hal substantial untuk membuat image positif bagi pembaca terhadap suatu majalah. Tata letak tulisan, urutan dalam penempatan rubrik, penempatan gambar iklan dengan jumlah yang proporsional terhadap jumlah halaman majalah, pemberian judul tulisan atau hal hal kecil lainnya tampaknya merupakan bentuk keragaman seni dan kreativitas para pekerja intelektual di suatu penerbitan majalah.
Berpegang pada kaidah kejurnalistikan tersebut, majalah TROBOS--yang didirikan pada bulan Oktober 1999 oleh Alm. H. Wahyudi Mohtar dan kawan kawan-- memfokuskan pemberitaannya dalam bidang agribisnis peternakan dan perikanan. Pasang surut dan dinamika dalam menerbitkan majalah tersebut telah dialaminya sebagai bentuk “kawah candradimuka” bagi para jurnalis muda sebagai pemegang estafet dalam membesarkan majalah ini nantinya.
Dalam perjalanannya, bulan Januari tahun 2008 ini, majalah Trobos memasuki edisi ke 100. Ini merupakan angka baik yang ada baiknya dijadikan momentum penting bagi seluruh crew majalah Trobos untuk melakukan evaluasi diri secara komprehensif serta melakukan introspeksi terhadap berbagai aktifitas yang dilakukan selama ini dalam upaya meningkatkan kualitas manajemen dan bisnis majalah Trobos ke depan. Selamat berkreasi dan berinovasi!!! Muladno, TROBOS edisi Januari 2008.

DITJENNAK, ISPI dan FPPTPI Berpikir positif bertindak kreatif


Penandatanganan Nota Kesepahaman (NK) antara Direktorat Jenderal Peternakan (DITJENNAK), Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), dan Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Peternakan Indoneia (FPPTPI) dilakukan pada tanggal 10 Mei 2006 di Pusat Penelitian Peternakan di Bogor. Inti dari isi NK tersebut adalah membuat dan melaksanakan kegiatan di bidang peternakan dengan memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang dimiliki masing-masing pihak untuk jangka waktu lima tahun. Acara penandatangan NK tampak sederhana dan khidmat. Acara ini dibarengkan dengan acara pengukuhan Ketua ISPI Cabang DKI Jakarta, yang diakhiri dengan diskusi panel tentang Restrukturisasi Perunggasan Nasional.

Lahirnya NK tersebut dilandasi oleh kepedulian dan pola berpikir positif para pemimpin ketiga organisasi tersebut terhadap situasi peternakan saat ini. Ini dipicu atas kejadian flu burung yang tak kunjung reda. Beberapa aktivitas seperti penyuluhan biosecurity kepada peternak, sosialisasi dan kampanye gizi ke masyarakat luas, atau penataan ulang sistem produksi ternak unggas merupakan rencana yang akan dikerjasamakan antara tiga pihak tersebut. Ribuan mahasiswa yang dimiliki perguruan tinggi, otoritas yang dimiliki ditjen peternakan, dan jaringan luas yang dimiliki ISPI merupakan modal besar untuk mengimplementasikan kerjasama yang sangat positif itu.

Kita berharap agar kerjasama ini tidak hanya beraktivitas untuk pengendalian flu burung saja tetapi juga aktivitas lainnya sehingga implementasi NK tersebut akan benar-benar menghasilkan output yang berdampak luas bagi pemulihan kondisi peternakan ke arah yang jauh lebih baik lagi. Import ternak dan produknya yang semakin tinggi dari waktu ke waktu merupakan realitas yang tidak perlu didiskusikan lagi tetapi perlu segera dicarikan solusinya dan diimplementasikan. Jumlah populasi ternak yang cenderung menurun juga merupakan realitas lain yang memerlukan tindakan nyata untuk mencegahnya dan diupayakan untuk meningkatkannya. Kualitas sumberdaya manusia peternak sebagai tulang punggung utama tersedianya pangan sumber protein hewani bagi bangsa Indonesia perlu ditingkatkan kualitas dan keterampilannya. Tentunya masih banyak lagi. Yang penting sekali untuk dicatat adalah bahwa penyelesaian berbagai masalah tersebut tidak dapat dilakukan sendiri tetapi akan sangat efektif bila dilakukan melalui kerjasama yang saling memperkuat sebagaimana telah dicontohkan oleh ketiga organisasi tersebut di atas.

Apapun hasil yang diperoleh dari kerjasama ini, DITJENNAK, ISPI, dan FPPTPI telah memberikan teladan bagi komunitas peternakan untuk secara proaktif mengurangi beban bangsa dan negara Indonesia dari tumpukan persoalan yang menghimpitnya. Ketulusan hati para pemimpin ketiga organisasi itu dan tanggung jawab moral yang ditunjukkan kepada para anggotanya melalui antusiasnya menggalang kerjasama tersebut benar-benar memberikan angin sejuk di tengah hiruk pikuknya suasana menyedihkan yang menyelimuti bangsa Indonesia saat ini seperti perbuatan anarkis buruh dalam demonstrasi tanggal 2 Mei 2006, kisruh politik di Tuban pacapilkada yang berakhir anarkis juga, kisruh sosial budaya terkait dengan RUU APP (Antipornografi dan Pornoaksi) yang memicu konflik antar tokoh masyarakat, dan segudang kejadian mengenaskankan lainnya.

Memang untuk ukuran bangsa berpenduduk 220 juta, apa yang diperbuat mereka bertiga masing-masing Dirjen Peternakan Ir. Mathur Riady, M.Sc Ketua Umum PBISPI Ir. A. Purwanto, MBA dan Sekjen FPPTPI Dr. Ir. Ifar Subagiyo mungkin terasa bagaikan riak-riak di tengah samudra luas dalam konteks pembangunan nasional secara keseluruhan. Namun demikian, bila semua pemimpin di level manapun selalu menjunjung tinggi rasa kebersamaan dan saling mengoptimalkan potensi yang dimiliki, maka seberat apapun permasalahan yang dihadapi akan sangat mudah diatasi.

Percayalah dengan apa kata orang bijak. Bila tiga pihak saling bertukar sebuah apel, masing-masing ketiga pihak tersebut hanya akan memperoleh sebuah apel juga. Namun, bila tiga pihak saling bertukar sebuah ide, masing-masing akan memperoleh sedikitnya tiga ide. Melalui kerjasama dengan lebih banyak pihak, ribuan ide pasti akan dihasilkan untuk menyelesaikan jutaan masalah!!!.

Muladno. Lektor Kepala Fapet IPB dan Sekjen PB-ISPI





BPTU Sapi Aceh Indrapuri: Ingin bangkit pasca-GAM dan Tsunami


Kedengarannya sangat aneh apabila BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul) Sapi Aceh Indrapuri terkena terjangan tsunami di akhir Desember 2004 lalu karena lokasinya di lereng Pegunungan Bukit Barisan sekitar 30 km dari Banda Aceh. Tapi itulah yang terjadi dan hampir semua arsip yang dimilikinya ludes. Tragis memang nasib institusi milik pemerintah pusat di bawah naungan Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan.

Ketika GAM (Gerakan Aceh Merdeka) masih beraksi di bumi serambi Mekkah, pada tanggal 24 Mei 2003 beberapa oknum GAM menyatroni BPTU dan membakar seluruh bangunan yang ada. Tidak ada gedung, fasilitas maupun dokumen yang tersimpan dapat diselamatkan. Sekitar 60 ekor sapi juga ikut diambil paksa. Pada bulan Juli 2003, kantor BPTU beserta seluruh pegawainya dipindahkan sementara ke Kantor Dinas Peternakan Propinsi Banda Aceh. Sejak saat itu, setiap hari para pegawai BPTU disediakan satu bis khusus antar-jemput ke Indrapuri dan Banda Aceh.

Setelah dilakukan renovasi sebagian bangunan gedungnya (terutama gedung utama) dan beberapa kandang sapi, direncanakan pada tanggal 15 Januari 2005 kantor BPTU Indrapuri diaktifkan lagi dan persiapan untuk pindah dari Banda Aceh ke lokasi asalnya telah dilakukan dengan matang. Namun, pada tanggal 24 Desember 2004 (sekitar tiga minggu sebelum hari kepindahan), tsunami juga ikut menerjang kantor Dinas Peternakan Propinsi Aceh yang lokasinya berjarak 4 km dari laut. Tidak ada selembar dokumen pun yang dapat diselamatkan dari bencana yang luar biasa dahsyatnya itu. Akhirnya, kembali aktifnya para personil BPTU di Indrapuri sekitar bulan Februari 2005 hanya dibekali kepedihan. Semua habis dan harus dimulai dari nol!.

Sejarah berdirinya BPTU.
Tadinya tanah dan lahan BPTU ini milik rakyat dan Koperasi Karet Indrapuri (Kopkari). Pada tahun 1972, oleh pemerintah daerah setempat, tanah tersebut dibebaskan yang kemudian dijadikan tempat berdirinya Sekolah Pengamat Kehewanan (SPK). Sampai tahun 2000, sekolah ini menerima lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk dididik selama satu tahun. Namun setelah itu, hanya tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang dapat diterima untuk dididik selama satu tahun. Karena berbagai alasan, sejak tahun 2004, waktu pendidikan bagi tamatan SMA diperpendek menjadi enam bulan. Di sekolah tersebut, semua murid dibebaskan dari biaya pendidikan dan itu menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Nangroe Aceh Darussalam. Dulunya, para alumninya yang rata-rata sebanyak 30 orang diberi modal usaha setelah menyelesaikan pendidikan.

Pada tahun 1978, SPK dipindahkan ke Kecamatan Saree Aceh Besar di Puncak Selawah (70 km dari Banda Aceh) yang lahan dan tanahnya cukup subur dan cocok untuk tempat pengembangan usaha peternakan. Kepindahan SPK ini diikuti dengan pendirian Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT) Indrapuri berdasarkan SK Menteri Pertanian No.313/Kpts/VII/1978 tertanggal 19 Juli 1978. Lahan ini memang tidak subur dan tanahnya berbatu cadas sehingga perlu diolah dulu sebelum dimanfaatkan untuk tumbuh-kembangnya hijauan makanan ternak. Adanya tantangan alam inilah yang justru dijadikan salah satu alasan didirikannya BPT-HMT di sini. Bila kawasan ini menjadi hijau karena adanya ternak, maka peternakan akan dikembangkan di kawasan tersebut yang memang masih luas dan belum banyak termanfaatkan.

Bersama dengan BPT-HMT lainnya di seluruh Indonesia, nama BPT-HMT Indrapuri kemudian diubah menjadi BPTU Sapi Aceh Indrapuri pada tanggal 16 April 2002. Namun demikian kata ”Unggul” pada singkatan BPTU ini terasa membebani para pegawainya karena mereka merasa bahwa institusi ini masih memiliki banyak sekali keterbatasan akibat bencana manusia (GAM) dan bencana alam (Tsunami).

Fasilitas dan arah pengembangan ke depan.
Untuk mencapai lokasi BPTU ini tidak terlalu sulit. Dari Bandara Sultan Iskandar Muda, BPTU dapat dicapai dalam waktu sekitar 40 menit, menelusuri jalan raya Banda Aceh-Medan. Dari jalan raya tersebut (kira-kira pada km ke 30), masuk ke arah pegunungan Bukit Barisan sejauh sekitar 5 km. Di sebelah kiri-kanan jalan menuju lokasi BPTU, tampak hamparan luas berbatu cadas namun memiliki pemandangan yang cukup indah. Satu kilometer menuju lokasi BPTU, jalan tampak rusak parah dan terkesan tidak terurus.

BPTU ini memiliki lahan seluas 450 hektar yang dibatasi dengan pagar kawat berduri. Hanya 5 ha yang digunakan untuk perkantoran. Di dalam area tersebut terdapat 75 ha kebun rumput berserta lahan pembibitannya seperti rumput gajah, rumput bintang, lamtoro, stilosances, dan Brachiaria decumben. Sekitar 150 ha lahan lainnya dipetak-petak menjadi 30 peddock dan digunakan sebagai tempat penggembalaan sapi secara bergiliran. Disediakan juga tujuh unit kandang sapi yang secara keseluruhan menempati area 595 x 432 meter-persegi. Sumber air di lokasi tersebut cukup bagus. Sungai yang mengalirkan air juga melewati lokasi BPTU. Untuk memudahkan pola pengairan, dibuat pula bak penampung air berukuran 10 x 10 meter persegi. Dengan adanya beberapa fasilitas tersebut, diperkirakan daya tampung BPTU saat ini adalah 600 ekor sapi dewasa.

Sebelum berubah nama menjadi BPTU, institusi ini memiliki 300 ekor ternak sapi diantaranya sapi Brahman-cross, sapi Aceh (sapi lokal), sapi Brangus, sapi Sahiwal, dan sapi Simental, serta 600 ekor ternak domba ekor tipis. Saat ini seluruh domba dan semua sapi berkelamin jantan disumbangkan ke para korban tsunami. Yang tertinggal hanya 4 ekor sapi Aceh pejantan unggul yang dijaring dari masyarakat dan sekitar 210 ekor sapi betina yang sebagian besar adalah sapi Aceh.

Sesuai mandat yang diberikan oleh pemerintah, BPTU yang memiliki sekitar 70 pegawai ini diarahkan untuk menyediakan dan memproduksi, mengembangkan, serta memasarkan bibit unggul sapi Aceh. Sapi ini memang disukai masyarakat Aceh sejak dulu. Oleh karena itu, program grading up untuk dapat menghasilkan sapi Aceh murni dengan segala sifat dan karakter khasnya perlu diprioritaskan. Tampaknya, sumberdaya manusia yang memahami ilmu dan penerapan pemuliaan dan perbibitan mutlak ditingkatkan kualitasnya baik melalui pendidikan formal atau melalui berbagai pelatihan terstruktur. Terkait dengan mandat tersebut, instansi ini juga mulai mengajak Universitas Syah Kuala untuk bermitra dalam mengembangkan sapi Aceh ini ke depan. Muladno