Minggu, 08 Maret 2009

KOMPENSASI

Istilah kompensasi menjadi sering disebut seiring dengan maraknya kasus flu burung di Indonesia. Kompensasi dalam konteks ini merupakan penggantian unggas yang didepopulasi dengan sejumlah uang. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Peternakan No.21055/Kpts/KU.510/F/04/2008, hanya peternak yang memiliki unggas sampai dengan 500 ekor yang memperoleh kompensasi. Unggas (ayam, itik, entog, burung hias, dan sejenisnya) yang terinfeksi virus avian influenza atau yang masih sehat akan diganti dengan uang apabila didepopulasi menurut justifikasi dokter hewan berwenang atas nama pemerintah.

Ada beberapa kelemahan yang muncul dalam implementasi skema kompensasi berdasar peraturan tersebut di atas. Pertama, hanya ada dua pihak saja yang terlibat dalam skema kompensasi yaitu pemerintah sebagai penyandang/pemberi kompensasi dan peternak sebagai pemilik unggas/ penerima kompensasi. Kedua, proses birokrasi dalam pengambilan keputusan untuk menentukan calon penerima kompensasi dan jumlah unggas yang dikompensasi memerlukan waktu lama. Ketiga, proses pencairan dana pemerintah kepada penerima kompensasi juga memerlukan waktu yang panjang. Ini memang sudah aturan sebagai konsekuensi penggunaan dana publik. Keempat, skema kompensasi ini hanya sebatas kegiatan penggantian dana dari pemerintah kepada peternak berskala kecil. Tidak lebih dari itu. Kelima, pola pemberian dana seperti itu kurang mendidik dan mungkin tidak memberi dampak signifikan bagi perkembangan usaha perunggasan di Indonesia.

Beberapa kelemahan itu memungkinkan penerapan kompensasi di Indonesia tidak berjalan secara optimal. Peternak yang memiliki unggas lebih dari 500 ekor tentu keberatan. Apabila dana kompensasi per ekor unggas yang diberikan oleh pemerintah nilainya lebih tinggi daripada harga unggas tersebut bila dijual, ada upaya peternak untuk membuat unggasnya terinfeksi virus sehingga harus didepopulasi dengan harapan mendapat uang kompensasi. Belum lagi adanya salah sasaran dalam pemberian dana kompensasi serta kebocoran dana di sana sini. Oleh karena itu, perlu dirancang skema kompensasi yang lebih baik dan lebih berdaya guna.

Salah satu skema yang saya usulkan di sini adalah skema yang melibatkan pemerintah, industri peternakan, lembaga independen, dan semua peternak atau pelaku usaha peternakan. Kompensasi di sini juga tidak hanya terkait dengan unggas dan virus AI saja tetapi untuk semua ternak. Kejadian AI di Indonesia harus dijadikan pelajaran berharga untuk merestrukturisasi atau menata industri peternakan di Indonesia, salah satunya melalui mekanisme kompensasi ini.

Dalam skema ini, industri peternakan sebagai pemilik modal, teknologi, dan manajemen profesional mengalokasikan sebagian dananya dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) untuk membantu meningkatkan keterampilan peternak atau pelaku usaha peternakan. Penggunaan dana CSR untuk kegiatan ini idealnya dikerjasamakan dengan lembaga independen (misalnya perguruan tinggi). Dengan adanya tiga pihak (industri, peternak, dan lembaga independen), tingkat keberhasilan dalam bekerjasama jauh lebih tinggi karena ada mekanisme saling mendukung dan saling mengawasi.

Sebagai bentuk kompensasi atas penggunaan dana CSR dari kalangan industri, pemerintah harus mengalokasikan dananya untuk membangun infrastruktur publik yang berdampak secara langsung bagi perkembangan industri peternakan dan secara tidak langsung bagi masyarakat luas. Kompensasi juga dapat diwujudkan dalam bentuk insentif pajak atau stimulus lainnya. Untuk menjamin bahwa pihak pemerintah maupun pihak industri peternakan mengalokasikan dananya masing-masing dalam skema kompensasi ini, kedua belah pihak harus bersepakat dalam suatu perjanjian yang diikat secara hukum. Lembaga independen dapat pula dilibatkan sebagai saksi atau pengawas dalam kesepakatan tersebut.

Melalui skema kompensasi seperti itu, penggunaan dana industri dalam bentuk CSR bagi peternak akan tidak berbelit-belit. Peternak dan pelaku usaha di bidang peternakan juga akan lebih terampil dan profesional karena mendapat pelatihan atau supervisi dari pihak yang kompeten. Dana pemerintah juga digunakan sebagaimana mestinya karena untuk pembangunan infrastruktur bagi kepentingan publik. Infrastruktur ini tentunya akan sangat membantu industri peternakan dan peternak meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam bisnis peternakan. Dengan demikian, harga produk peternakan juga diharapkan akan lebih murah.

Semua pihak akan diuntungkan dan masyarakat luas pun akan menikmati produk ternak yang lebih sehat, lebih bersih, dan lebih terjangkau harganya. Akibatnya masyarakat juga akan semakin cerdas karena asupan konsumsi protein hewaninya lebih banyak.

Muladno
Guru Besar Pemuliaan dan Genetika Ternak FAPET IPB
Koordinator Bidang Perencanaan dan Pengembangan KOMNAS FBPI

DOWNLOAD TERJEMAHAN BUKU GENETIKA VETERINER?

Rekan rekan bloggers yang budiman,

Bagi yang berminat mengunduh (download) terjemahan buku Introduction to veterinary genetics, silakan masuk ke https://sites.google.com/site/muladnocom. Saat ini masih ada dua bab dalam format pdf. Saya masih belum selesai memformat 18 bab sisanya karena kesibukan yang amat sangat dalam dua minggu terakhir ini. Yang jelas, sesuai janji saya, semua bab akan saya sajikan di sana agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi yang ingin belajar genetika.

Selamat membaca dan semoga sukses selalu,

salam,
muladno


"satu musuh terlalu banyak, sejuta kawan terlalu sedikit"

Sabtu, 14 Februari 2009

Bab 1. Genetika Dasar

Bab ini memberikan tinjauan tentang genetika dasar. Ini terfokus pada prinsip-prinsip umum mengenai genetika yang terjadi pada hewan normal yang sehat. Pengecualian atau penyimpangan dari prinsip-prinsip ini seringkali merupakan landasan tentang penyakit-penyakit keturunan, yang akan didiskusikan pada bab-bab berikutnya.


Kromosom

Jika biak sel darah putih yang membelah dengan cepat diperlakukan dengan alkaloid kolkisin (yang menghentikan pembelahan sel), dan sel tersebut kemudian diwarnai dan dilihat di bawah mikroskop cahaya, struktur yang disebut kromosom menjadi dapat dilihat secara jelas. Kromosom tersebut tersebar secara acak dalam kelompok-kelompok, dan setiap kelompok mengandung semua kromosom yang hanya berasal dari satu sel. Area genetika yang terkait erat dengan kromosom dinamakan sitogenetika.

Untuk mempelajari kromosom secara lebih mendalam, sekelompok kromosom dipilih dan difoto untuk diperoleh gambarnya, seperti ditunjukkan hasilnya pada Gambar 1.1a. Tiap unit pada gambar tersebut terdiri atas dua struktur seperti batang yang digabung bersama pada satu titik sempit. Tiap struktur seperti batang itu adalah kromatid, dan penyempitan tersebut adalah sentromer. Dua kromatid yang digabung pada sentromer baru saja terbentuk dari satu kromosom asli. Jika pembelahan sel tadi dibiarkan terus berlangsung, sentromer akan memisah dan masing-masing kromatid yang terpisah kemudian dinamakan kromosom baru. Untuk lebih mudahnya, kita bicara tentang tiap pasang kromatid yang digabung pada sentromernya sebagai satu kromosom, yang sebenarnya merupakan kromosom yang baru saja menimbulkannya.

Dari hasil cetakan fotograf, semua kromosom dipotong secara individual dengan gunting, dan selanjutnya diatur secara berurutan berdasarkan ukurannya pada selembar kertas. Pengaturan semacam ini memberikan suatu gambaran komplemen kromosom secara lengkap atau kariotipe dari satu sel (Gambar 1.1b). Apabila pengaturan kromosom seperti di atas dilakukan pada banyak individu sehat yang normal dari kedua jenis kelamin spesies mamalia atau burung, maka terdapat dua fakta yang jelas: tiap spesies mempunyai kariotipe yang khas, dan dalam setiap spesies, setiap jenis kelamin mempunyai kariotipe yang khas.

Kariotipe dari spesies yang berbeda mempunyai bentuk, ukuran dan jumlah kromosom yang berbeda juga. Pada setiap spesies, semua kromosom dalam sel selalu berpasangan. Pada individu-individu dari satu jenis kelamin tertentu, kedua kromosom dari setiap pasangan mempunyai bentuk dan ukuran yang sama. Pada jenis kelamin yang lain, semua kromosom juga selalu berpasangan, tetapi ada satu pasang kromosom terdiri dari dua kromosom yang bentuk dan ukurannya berbeda. Pada sepasang kromosom ini, satu kromosom mempunyai bentuk dan ukuran sama seperti salah satu pasang kromosom pada jenis kelamin yang disebutkan pertama.
Perbedaan kariotipe antara dua jenis kelamin tersebut merupakan kunci untuk penentuan jenis kelamin. Pada mamalia, sepasang kromosom yang bentuk dan ukurannya berbeda terdapat pada jantan, dan disebut kromosom X dan Y. Satu dari semua pasangan kromosom dalam sel mamalia betina, terdiri dari dua kromosom X. Jadi pada mamalia, individu jantan adalah XY dan individu betina adalah XX. Kromosom X dan Y dikenal sebagai kromosom kelamin. Pada burung, kromosom kelamin mempunyai nama yang berbeda, dan berkaitan dengan jenis kelamin, penamaannya berlawanan dengan mamalia: dimana burung jantan adalah ZZ dan burung betina adalah ZW. Untuk memudahkan pemahaman, kita akan menggunakan sistem penamaan pada mamalia dalam diskusi-diskusi berikutnya, walaupun semua pernyataan dapat digunakan pada burung jika penamaan jenis kelaminnya dibalik.

Kromosom selain kromosom kelamin dinamakan autosom. Pada setiap spesies, jantan dan betina mempunyai satu set autosom yang sama, dalam bentuk berpasangan. Kromosom kelamin dan autosom yang secara bersama-sama terdapat dalam satu sel disebut genom, yang merupakan total set kromosom dalam satu sel. Genom yang terdiri dari pasangan-pasangan kromosom dikatakan diploid, dan dua kromosom dalam setiap pasangan dinamakan homolog. Untuk menekankan bahwa kromosom-kromosom tersebut selalu berpasangan, jumlah total kromosom dikatakan sebagai 2n, dimana n adalah jumlah pasangan. Sebagai contoh, jumlah kromosom kariotipe yang diilustrasikan pada Gambar 1.2 adalah 2n = 38. Agar dapat mengidentifikasi setiap pasang kromosom dalam satu kariotipe, pasangan-pasangan autosom diberi label sesuai dengan aturan main yang telah disetujui secara internasional, seperti dapat dilihat pada Gambar 1.1b. Dua kromosom kelamin biasanya ditempatkan pada urutan terakhir.

INSERT GAMBAR 1.1.

Gambar 1.1. (a) Kromosom kucing jantan, sebagaimana dilihat melalui mikroskop cahaya. (b) Kariotipe kucing jantan, sebagaimana diperoleh dengan penataan kembali potongan kromosom secara individu dari cetakan fotografi kromosom (a).


Untuk menjelaskan kariotipe secara lebih lengkap, kromosom seringkali dikelompokkan menurut apakah sentromer berada pada satu ujungnya (akrosentrik), lebih dekat ke satu ujung daripada ujung lainnya (sub-metasentrik) atau di tengah (metasentrik). Pada buku ini, kita akan mengikuti kebiasaan praktis dalam menggunakan metasentrik untuk mencakup baik metasentrik maupun sub-metasentrik. Tangan pendek dari tiap kromosom diberi simbul p (petite = small = kecil), dan tangan panjang diberi simbul q. (Jika sentromer berada di tengah kromosom, simbul dari tangan yang mana yang disebut p adalah bersifat bebas (arbitrary), tetapi disetujui oleh konvensi internasional, untuk kromosom akrosentrik, misalnya autosom sapi, tidak perlu membedakan antar tangan, dan tidak juga p atau q yang digunakan.) Penjelasan ringkas tentang kariotipe dari hewan domestik disajikan pada Tabel 1.1. Kariotipe burung berbeda dengan kariotipe mamalian, karena selain beberapa autosom berukuran besar, mereka memiliki banyak autosom berukuran sangat kecil yang dinamakan mikrokromosom.


INSERT TABEL 1.1.


Pemitaan

Ketika kariotipe pertama kali ditemukan, pasangan individu kromosom dapat diidentifikasi hanya berdasarkan ukuran dan bentuknya. Sejak itu, berbagai metode pewarnaan kromosom telah dikembangkan, yang memunculkan wilayah terang dan gelap yang dinamakan pita. Tipe utama pita tersebut secara luas diklasifikasikan sebagai G, Q, R, C, T, dan N.

Sebagai contoh pemitaan, pita-G sapi diilustrasikan pada Gambar 1.2. Karena posisi, lebar, dan jumlah pita biasanya berbeda untuk setiap pasang kromosom, tiap pasangan kromosom dapat diidentifikasi oleh pola pitanya. Dengan mempelajari banyak sel yang diperlakukan dengan cara yang sama, dimungkinkan menggambar idiogram, yang merupakan pencerminan dari pola pita yang khas untuk tiap pasang kromosom. Pita pita tersebut secara unik diidentifikasi menurut suatu konvensi yang dikenal sebagai the International System for Cytogenetic Nomenclature of Domestic Animals (ISCNDA). Tiap tangan dibagi menjadi sejumlah kecil wilayah yang diberi nomor secara berurutan mulai dari sentromer. Kemudian, pada tiap wilayah, pita-pita tersebut diberi nomor secara berurutan mulai yang terdekat dengan sentromer. Misalnya, pita ke dua pada wilayah ke tiga dari kromosom 1 pada sapi diberi simbul 132, sedangkan pita ke dua pada wilayah ke empat dari tangan panjang kromosom X adalah Xq42. Idiogram ISCNDA untuk sapi diilustrasikan pada Gambar 1.3. Kariotipe berpita dari spesies domestik diilustrasikan pada Lampiran 1.1.


INSERT GAMBAR 1.2 dan GAMBAR 1.3

Minggu, 01 Februari 2009

“Ngalor-ngidul” Statistik Peternakan

Alih-alih dapat mencapai target pemerintah berswasembada daging tahun 2010, 70% dari total kebutuhan daging nasional saat ini dipenuhi dari import. Bukan sebaliknya seperti yang sering dikatakan bahwa 20%-30% kebutuhan daging nasional dipenuhi dari import. Kesimpulan saya ini berdasarkan hasil perhitungan angka-angka yang diterbitkan di buku statistik peternakan terbitan Direktorat Jenderal Peternakan tahun 2007.
Tidak percaya? Silakan hitung sendiri dengan data berikut ini. Konsumsi daging sapi 0.31 kg/kapita/ tahun (halaman 139); jumlah penduduk Indonesia 221 juta (halaman 211); impor sapi bakalan dan daging sapi yang rata-rata naik hampir 20% per tahun (halaman 31). Data teknis yang saya gunakan adalah berat badan sapi import 400-500 kg; berat badan sapi lokal 300-350 kg; karkas 45-50%; kandungan daging dalam karkas 65%. Mudah-mudahan perhitungan saya tidak salah bahwa hasilnya sekitar 70% daging di Indonesia berasal dari import.
Namun kalau melihat data jumlah pemotongan sapi di Indonesia yang rata-rata 1.768.571 ekor per tahun (halaman 115), pernyataan selama ini bahwa daging impor hanya menutupi 20% - 30% kebutuhan daging nasional ada benarnya karena rata-rata impor sapi dari luar negeri (sapi bakalan dan daging beku) sebanyak 337.856 ekor per tahun (halaman 31).
Jadi, dengan menggunakan data sapi yang disajikan pada buku statistik peternakan yang sama, hasilnya berbalikan. Hasil yang satu menunjukkan bahwa 70% kebutuhan daging dipenuhi dari import sedangkan hasil satunya lagi menunjukkan bahwa 70% kebutuhan daging dipenuhi dari sapi lokal. Jika dua-duanya tidak bisa diterima, maka jawaban lainnya adalah bahwa konsumsi daging sapi di Indonesia tidak lagi 0.31 kg/kapita/tahun, tetapi lebih dari itu!!. Inilah potret data statistik peternakan. Angka manakah yang benar diantara angka-angka yang disajikan pada buku yang sama?
Tidak heran apabila banyak pihak sering mengeluhkan kesahihan data keluaran pemerintah. Konon data pemerintah lebih sering kelirunya daripada benarnya. “Ambil saja separonya bila menggunakan data pemerintah” seloroh seorang teman akademisi dari kampus ternama di Indonesia. Tidak hanya data pemerintah saja sebenarnya. Data instansi swastapun sering tidak akurat karena terkait dengan hitung-hitungan bisnis dan kewajiban membayar pajak. Kata teman yang lain lagi, data yang disajikan pihak swasta bisa berubah-ubah, dan angka yang dimunculkan sangat tergantung pada kegunaan data tersebut. Tampaknya ini sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, walaupun sebaiknya jangan dibudayakan.
Memang bukan pekerjaan mudah untuk menghasilkan data yang baik dan benar. Walaupun dari waktu ke waktu, kualitas buku statistik peternakan (tampilan maupun substansinya) terus diperbaiki namun masih saja hasilnya seperti yang saya uraikan di atas sebagai salah satu contohnya. Namun demikian, bukan berarti kita tidak bisa membuat data statistik yang baik dan benar di masa mendatang. Khususnya data dari pemerintah --sebagai lembaga publik--, mestinya harus akurat dan tepat mengingat keberadaan data yang baik dan benar merupakan bahan pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan penting, apalagi yang menyangkut kemaslahatan umat.
Upaya menghasilkan data statistik yang baik dan benar sangat mungkin dan bisa dilakukan. Banyak pakar statistik di Indonesia, teknologi informasi juga semakin canggih, fasilitas untuk menjalankan teknologi tersebut juga sangat memadai, dan semua perangkat lainnya juga siap mendukungnya. Kita tinggal membutuhkan kemauan dan semangat melayani publik untuk menghasilkan data yang terbaik, tentunya dengan memberikan dukungan finansial dan reward yang memadai bagi para profesional yang mengerjakannya.
Contoh menarik tentang akurasi data di Indonesia adalah data yang terkait dengan pemilihan umum untuk memilih pemimpin ekskutif di tingkat pusat dan di tingkat daerah maupun untuk memilih anggota lembaga legislatif di Indonesia sejak di era reformasi selama ini. Hasil perhitungan cepat (quick count) yang dilakukan oleh lembaga survei seringkali tidak meleset dengan hasil perhitungan manual yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Memang menghitung jumlah kertas suara (yang merupakan benda mati) sangat berbeda dengan jumlah ternak (barang hidup dan berkembang) apalagi ternak kecil seperti ayam dan sebangsanya. Namun, sekali lagi, bukan berarti tidak bisa.
Selamat menunaikan tugas baru dengan semangat baru di tahun 2009.

Muladno.
Guru Besar pada Fakultas Peternakan IPB dan Ketua I PBISPI 2006-2010

Dipublikasi juga di Majalah TROBOS edisi Januari 2009


PRATAKA DARI PENERJEMAH

Salah satu buku wajib yang harus dipelajari oleh mahasiswa di Department of Animal Science University of Sydney adalah Introduction to Veterinary Genetics. Buku ini ditulis oleh Prof. F.W. Nicholas yang juga pengajar di Universitas tersebut. Buku yang terdiri atas 20 bab ini ditulis dengan sangat runut, jelas dan mudah diikuti, dan dalam setiap prinsip yang dijelaskan selalu disertai dengan contoh contoh sederhana.

Prof. F.W. Nicholas mempunyai kepribadian menarik dan bahkan sangat baik. Orangnya ramah, akomodatif, dan selalu memberi apresiasi kepada mahasiswanya terhadap kemajuan sekecil apapun yang telah dicapai. Selain tidak pernah marah, Prof. F.W. Nicholas adalah seorang pendengar yang baik dan sangat dekat dengan para mahasiswanya. Sudah menjadi tradisi baginya bahwa setiap akhir semester (masa perkuliahan berakhir) professor ini selalu mentraktir mahasiswanya untuk minum bir bersama di kafe dekat kampus. Namun beliau tidak membayar semua yang diminum tetapi hanya membayar segelas bir pertama yang diminum setiap mahasiswanya (bagi yang memang mau minum). Bila mahasiswa ingin minum lagi segelas atau lebih, mereka harus membayar sendiri.

Substansi yang ditulis oleh Prof. F.W. Nicholas dalam bukunya, tentunya, dapat juga ditemukan dalam buku lain. Namun demikian buku ini memiliki kekuatan lain karena penulis berasumsi bahwa pembacanya adalah pemula di bidang genetika, yang oleh karena itu ditulis sejelas-jelasnya. Tidak heran apabila buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa di dunia (setidaknya sudah empat bahasa). Ada kejadian menarik yang saya lihat sendiri di ruang kerja beliau. Suatu hari seorang mahasiswi dari Italia sedang melancong ke Sydney Australia, yang salah satu tujuannya adalah ingin bertemu Prof. F.W. Nicholas untuk mengatakan bahwa dia sangat senang dengan bukunya itu karena mudah dimengerti dan dicerna isinya.

Prof. F.W. Nicholas sangat dikenal di banyak komunitas di dunia tetapi penampilannya tetap sederhana dan bersahaja. Ketika saya pamitan meninggalkan University of Sydney pada akhir bulan Agustus 1994, saya mengatakan kepada beliau bahwa suatu saat nanti akan terbit buku Introduction to Veterinary Genetics versi bahasa Indonesia. Itu merupakan janji diri sendiri untuk mengapresiasi Prof. F.W. Nicholas yang memiliki kepribadian yang sungguh sangat baik.

Dengan tertatih-tatih, karena diselingi dengan berbagai kesibukan, akhirnya saya dapat menuntaskan penerjemahan buku tersebut pada akhir tahun 2004. Jadi perlu waktu 10 tahun! Sudah basikah ilmu yang ada di dalamnya? Walaupun buku tersebut telah dipublikasi pada tahun 1996, saya rasa buku tersebut tidak basi karena substansi yang terkandung di dalam terdiri atas banyak prinsip yang masih relevan sampai hari ini. Bahwa ada kemajuan teknologi di bidang genetika tidak dapat dipungkiri tetapi prinsip dasarnya masih ada dalam buku tersebut.

Atas terbitnya buku terjemahan ini, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. F.W. Nicholas yang secara antusias membantu perolehan ijin menerjemahkan buku dari penerbit Oxford Press. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Ditjen Pendidikan Tinggi atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pelatihan menjadi penerjemah buku di bawah bimbingan Bapak Adjat Sakri dan timnya pada pertengahan tahun 1998. Saya sampaikan terima kasih kepada Bapak Ir. Dedin Rohaedin yang menangani pengeditan kalimat, pencetakan buku dan penerbitannya serta Ibu Dra Laksmi yang mengedit bahasa Indonesianya. Terakhir, untuk kesekian kalinya, saya ingin menyampaikan terima kasih dan apresiasi tinggi kepada Bapak Dr. Rachmat Pambudy yang selalu memotivasi saya untuk banyak menulis dan yang selalu peduli terhadap upaya menerbitkan buku-buku ilmiah bagi pengembangan ilmu dan teknologi di Indonesia. Kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, saya mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.

Semoga bermanfaat.


Dr. Muladno

Hidup Bersama Flu Burung

Flu burung menjadi epidemi di negeri kaya burung. Indonesia mempunyai 1598 spesies burung—nomor 4 terbesar di dunia setelah Kolumbia, Peru, dan Brazil. Epidemi itu menelan korban jiwa. Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI mencatat 112 orang meninggal dunia dari 137 kasus yang terkonfirmasi di Indonesia hingga 25 November 2008.

Sebagian besar korban meninggal berdomisili di propinsi Jawa Barat (33 orang), DKI Jakarta (33 orang), dan Banten (28). Sisanya berdomisili di delapan propinsi lainnya. Anehnya, hampir semua korban meninggal dunia bukan orang yang sehari-hari bekerja di kandang unggas. Bukan pula orang yang bekerja sebagai penyembelih unggas atau pedagang unggas. Namun, justru orang yang sama sekali tidak bersentuhan dengan unggas.

Sebaliknya jutaan orang yang bekerja di usaha peternakan unggas masih tetap sehat wal afiat. Mereka beraktivitas seperti biasa, sudah tidak takut lagi dengan kejadian flu burung. Virus yang pertama kali menyerang unggas pada pertengahan tahun 2003 itu tentu saja juga mengakibatkan puluhan juta ekor unggas terkapar. Kejadiannya hampir merata di seluruh propinsi di Indonesia. Hingga saat ini, kasus flu burung masih belum dapat diatasi dan korban manusia maupun unggas masih ditemukan.

Menuding babi
Yang cukup merisaukan banyak pihak adalah mekanisme penularan virus dari unggas ke manusia belum terungkap secara jelas. Buktinya muncul “keanehan” bahwa korban meninggal dunia bukan orang yang sehari hari bekerja di perunggasan. Ada juga yang mensinyalir bahwa penularan virus dari unggas ke manusia dimediasi oleh babi. Artinya, virus unggas menginfeksi babi, tetapi tidak mengakibatkan kematian.

Virus dari babi kemudian menginfeksi manusia dan mengakibatkan kematian. Akibatnya banyak babi di Tangerang, Propinsi Banten, dibakar dan dimusnahkan. Namun, tidak ada bukti kuat tentang peran babi dalam penularan virus flu burung dari unggas ke manusia. Maka keberadaan babi pun dipertahankan sampai saat ini.

Yang jelas, virus flu burung-- khususnya tipe H5N1-- dari unggas dapat mengakibatkan manusia meninggal dunia bila terinfeksi. Ayam kampung tak luput dari tudingan sebagai penyebab epidemi itu. Maklum peternak biasanya membiarkan ayam kampung mereka berkeliaran. Oleh karena itu ayam kampung yang banyak dipelihara di pemukiman menjadi momok paling menakutkan bagi sebagian besar masyarakat.

Malahan beberapa kepala daerah menginstruksikan pemusnahan ayam kampung dan ayam lainnya. Ada juga yang membentuk Forum Masyarakat Anti Ayam. Aktivitasnya? Menumpas seluruh ayam di wilayah pemukiman dan sekitarnya. Padahal, selama ini mereka juga mengonsumsi daging ayam. Upaya membumihanguskan ayam kampung semakin menjadi-jadi. Para peternak ayam tentu tak tinggal diam. Mereka menentang keras upaya memberangus ayam kampung.

Para pakar genetika juga angkat bicara. Mereka berteriak tidak setuju terhadap upaya pemusnahan ayam kampung. Keputusan yang salah bila ayam kampung dibersihkan dari bumi Indonesia secara serampangan. Jangan salah, ayam kampung di Indonesia merupakan salah satu nenek moyang ayam di dunia. Itu dibuktikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang bekerjasama dengan International Livestock Research Institute (ILRI).

Kedua lembaga riset itu menganalisis fragmen DNA ayam kampung dari berbagai pelosok Indonesia dan membandingkan dengan fragmen DNA yang sama dari ayam di beberapa negara lainnya. Ayam kampung harus dilestarikan dan dioptimalkan penggunaannya bagi umat manusia. Dengan melakukan penelitian secara lebih intensif, potensi genetiknya dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembentukan ayam modern yang semakin efisien, produktif, dan tahan terhadap penyakit.


Hidup bersama
Kerugian akibat flu burung yang merebak pada pertengahan 2003-2007, mencapai Rp. 4.1 Trilyun. Harap mafhum pada kurun itu banyak ayam musnah atau dimusnahkan, anjloknya permintaan ayam dan produk turunannya, berkurangnya konsumsi ayam di restoran atau di banyak warung kecil lainnya. Belum lagi kerugian dari sektor pariwisata. Itu belum termasuk hilangnya banyak kesempatan kerja akibat penurunan produksi ayam.

Walau kejadian kasus flu burung pada manusia semakin mereda, kita harus tetap waspada. Selain itu kita harus lebih serius mencegah terjadinya kasus flu burung karena penyakit itu mengakibatkan pandemi atau penularan virus dari manusia ke manusia. Dari simulasi yang dilakukan seandainya terjadi pandemi flu burung, diperkirakan terdapat 66 juta orang sakit dan 150.000 orang meninggal dunia.

Kerugian lain bila terjadi pandemi adalah tidak ada kegiatan ekonomi seperti pelayanan jasa bank, pariwisata, dan industri akibat banyak orang sakit dan kekhawatiran orang tertular sakit. Diperkirakan dalam jangka pendek kerugian mencapai Rp 14 Trilyun – Rp 48 Trilyun. Suatu jumlah yang sangat besar dan berefek domino yang sangat membahayakan stabilitas negara.

Kita memang harus siap berdampingan dengan virus flu burung. Karena virus flu burung sudah endemik di Indonesia. Sebenarnya sangat mudah mencegah mewabahnya virus. Kunci utamanya adalah tertib dan disiplin melakukan pola hidup sehat dan bersih di mana pun kita berada. Ingat virus flu burung mudah ditularkan melalui berbagai kontak dengan media pembawa virus.

Dalam perusahaan peternakan unggas, upaya mengamankan kehidupan unggas dari serangan penyakit mutlak dilakukan secara tertib dan konsisten. Ayam kampung yang selama ini diumbar di pekarangan harus dikandangkan di tempat bersih. Intinya adalah melakukan hal sederhana yang terkait dengan kebersihan dan kesehatan hewan yang berujung pada kesehatan manusia.

Zoonosis
Yang perlu diperbaiki antara lain pola pemotongan ayam untuk menyediakan daging konsumsi. Setiap hari, ayam dipotong di tempat pemotongan yang sebagian besar kotor. Bau anyir dan pemandangan menjijikkan menjadi santapan sehari-hari. Di situ pula salah satu penyebaran virus flu burung. Sebagian besar pasar tradisional tempat menjual daging ayam juga kotor.

Daging kemudian diolah dan disajikan di banyak restoran atau dijajakan berkeliling di pemukiman penduduk. Hampir 80% konsumen di Indonesia membeli daging ayam yang diproses di tempat pemotongan yang jauh dari bersih dan sehat. Oleh karena itu, perlu ada gerakan bersih dan kampanye secara terus-menerus untuk mengubah kebiasaan konsumen yang membeli produk ayam seperti itu.

Memang bukan perkara gampang. Namun, dengan adanya kasus flu burung diharapkan upaya itu dapat lebih mudah dilakukan. Bukankah hingga 2008 masih ada kasus flu burung? Permasalahan flu burung di Indonesia memang kompleks sehingga tidak mungkin membasmi virus flu burung secara tuntas. Seandainya tidak ada Komnas FBPI (Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza), bisa jadi kejadian flu burung semakin tidak terkendali.

Sinyalemen itu menjadi benar karena ada kekhawatiran banyak pihak terhadap rencana pembubaran Komnas FBPI pada tahun 2010 mendatang. Yang penting untuk dicatat adalah bahwa penyakit zoonosis (suatu penyakit hewan yang dapat menular ke manusia atau sebaliknya) itu bukan hanya penyakit flu burung. Penyakit baru akan muncul dan penyakit yang dulu ada juga akan muncul kembali (emerging and re-emerging diseases). Ada lebih dari 150 penyakit zoonosis.

Merebaknya penyakit zoonosis yang bisa muncul kapan saja dan dari mana saja menjadi kepedulian komunitas global. Penyakit itu tidak mungkin ditangani oleh para dokter manusia saja atau dokter hewan saja. Perlu pendekatan lintas disiplin ilmu dan pengetahuan yang melibatkan kedua profesi melalui pengembangan sistem “satu kesehatan satu dunia”.

Oleh karena itu, amat sangat disayangkan apabila kejadian flu burung yang memakan banyak korban manusia, hewan, uang, dan energi tidak memberikan makna pembelajaran bagi bangsa Indonesia untuk bertindak lebih baik lagi, berpikir lebih cerdas lagi, berkreativitas lebih inovatif lagi, dan bekerja lebih profesional lagi.

Muladno
Guru Besar Pemuliaan dan Genetika Ternak pada Fakultas Peternakan IPB;
Koordinator Bidang Perencanaan dan Pengembangan KOMNAS FBPI.

Majalah TRUBUS No. 471 edisi Februari 2009.